Surakarta. (Cokronews.com) – Kirab malam Satu Suro merupakan tradisi turun-temurun di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang telah berusia ratusan tahun. Sejarah kirab Satu Suro berasal dari rutinitas Raja Pakubuwono X yang memerintah dari tahun 1893 hingga 1939.
Setiap Selasa dan Jumat kliwon, Pakubuwono X rutin berkeliling tembok Baluwarti berdasarkan penanggalan Jawa. Rutinitas Pakubuwono X tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah tradisi yang terus dilestarikan oleh kerabat Keraton Solo hingga saat ini. Makna dari kirab ini adalah masyarakat meminta keselamatan dan sarana introspeksi agar menjadi pribadi yang lebih baik dari tahun sebelumnya.
Kirab malam Satu Suro di Keraton Kasunanan Surakarta tidak dapat dipisahkan dari kebo bule atau kerbau bule yang menjadi tokoh utama dalam ritual ini. Kebo bule yang dimaksud bernama Kyai Slamet. Nama tersebut diambil dari salah satu pusaka berupa tombak milik Keraton Solo yang sering dibawa oleh Pakubuwono X saat berkeliling tembok Baluwarti setiap Selasa dan Jumat kliwon. Selain mengemban pusaka yang mulia, kebo bule senantiasa mengikuti dengan setia di belakang Pakubuwono X.
BACA JUGA ; Dalam Dua Pekan, Satres Narkoba Polres Magetan Ungkap 3 Perkara TP Narkoba
Karena kebo bule selalu mendampingi saat ritual ini dilakukan, kemudian diberi nama kebo bule Kyai Slamet, mengikuti langkah tombak Kyai Slamet. Kebo bule yang sakral itu diberikan sebagai hadiah istimewa oleh Bupati Ponorogo, yakni Kyai Hasan Besari Tegalsari, kepada Pakubuwono II bersama dengan pusaka tombak yang tak kalah sakralnya, yaitu Kyai Slamet. Kehadiran Kebo bule ini dipercaya membawa anugerah dan keselamatan yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa, sehingga selalu dinantikan dengan penuh harap oleh masyarakat.
Pada saat kirab malam Satu Suro, ribuan orang memadati sepanjang rute kirab. Biasanya, kirab dimulai pada pukul 23.00 WIB. Rute kirab umumnya dimulai dari Keraton Solo, menuju Jalan Pakoe Boewono – Bundaran Gladag, lalu Jalan Jenderal Sudirman.
Selanjutnya, kirab memutar di sekitar Benteng Vastenburg ke arah timur melalui Jalan Mayor Kusmanto, kemudian berbelok ke arah selatan melintasi Jalan Kapten Mulyadi, dan melanjutkan perjalanan ke arah barat memasuki Jalan Veteran. Kirab berlanjut ke arah utara melintasi Jalan Yos Sudarso, kemudian berbelok ke arah timur melalui Jalan Slamet Riyadi, dan di Bundaran Gladag berbelok kanan (ke arah selatan) untuk kembali masuk ke dalam keraton.
Menariknya, banyak warga yang menantikan kehadiran kebo bule. Bahkan, sebagian warga berusaha untuk menyentuh, mengambil air jamasan, dan bahkan mengambil kotoran kebo bule yang jatuh selama kirab berlangsung.
Semua peserta kirab malam Satu Suro mengenakan pakaian berwarna hitam, seperti yang dikutip dari Pemerintah Kota Surakarta. Peserta pria mengenakan busana adat Jawa berwarna hitam atau busana Jawi jangkep. Sementara itu, peserta wanita mengenakan kebaya berwarna hitam. Barisan kebo bule beserta pawangnya berada di barisan paling depan. Kemudian, diikuti oleh barisan abdi dalem, putra-putri raja, dan kerabat Keraton Solo yang membawa sepuluh pusaka keraton.
Selama prosesi kirab berlangsung, peserta kirab dilarang berbicara satu sama lain. Ritual ini dikenal sebagai tapa bisu. Hal ini memiliki makna sebagai perenungan diri terhadap apa yang telah dilakukan selama setahun yang telah berlalu.