Yogyakarta ( cokronews.com ) — GKR Mangkubumi, GKR Hayu, GKR Bendara, dan KPH Notonegoro hadir bersama Raja Keraton Yogyakarta sekaligus Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X pada hari ke-2 gelaran Internasional Symposium on Javanese Culture 2025, di The Kasultanan Ballroom Royal Ambarrukmo Yogyakarta, pada Minggu (13/04).
Pada simposium di hari ke-2 ini, berupa talk show yang menghadirkan delapan pembicara dan empat moderator.
Agenda talk show tersebut terdiri dari dua topik diskusi yang terbagi menjadi dua sesi, yakni sesi pertama Socio Culture, dan sesi ke-2 Art & Literature.
Socio Culture, mengulas tentang Abdi Dalem sebagai pengawal kehidupan sosial budaya, dengan mengundang Sri Sultan sebagai narasumber terkait pembaruan keraton.
Pada diskusi yang dipandu oleh Prof. Dr. Drs. RM Pramutomo, M.Hum., Sri Sultan menceritakan secara singkat awal mula diaktifkannya Kembali Prajurit Keraton Yogyakarta pada tahun 1971.
Prajurit Keraton sudah ada sejak mula berdirinya Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, yang berfungsi sebagai militer pada perang Jawa. Setelah datangnya kolonial Belanda prajurit keraton mengalami perubahan fungsi, yakni sebagai fungsi seremonial, hingga tahun 1930.
Kemudian prajurit keraton sempat dibubarkan oleh Sri Sultan HB IX karena mendapat tekanan dari Jepang. Hingga tibalah saatnya di tahun 1971, prajurit keraton mulai dihidupkan kembali oleh BRM Herjuna Darpito (Sri Sultan Hamengku Buwana X). Dimana pada saat itu, muncul sebuah ide dari BRM Herjuna Darpito untuk menampilkan baris-berbaris dari prajurit keraton dalam karnaval peringatan hari ulang tahun kota madya. Dari sanalah akhirnya mendapatkan tawaran dari ayahanda beliau (Sri Sultan HB IX) untuk menghidupkan kembali prajurit keraton, dan Bregada Dhaeng sebagai pasukan pertama yang diaktifkan kembali kala itu.
Pada kesempatan diskusi sesi pertama, terkait Socio Culture, Prof. Em. Andre Avellino Hardjana, Ph.D. dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta menyampaikan pengertian raja dan keraton. Raja adalah pemimpin yang oleh rakyat sebagai wakil Allah di dunia (Kalifatullah) dengan tugas memberikan berkat kesejahteraan lahir batin kepada rakyatnya. Hal tersebut dapat dicapai dengan melaksanakan konsep kesejahteraan kehidupan lahir batin, yaitu bagaimana hubungan antara rakyat dengan rajanya baik.
“Dalam konsep kami, raja dan keratonnya berorientasi kerakyatan. Sehingga, didalam penjelasan ini kami bisa memberi definisi bahwa raja adalah pemimpin yang dipercaya oleh rakyat sebagai wakil Allah di dunia (Kalifaullah). Raja adalah pemimpin yang menjadi sumber berkah dan penabur berkah kesejahteraan hidup lahir batin bagi rakyat banyak. Sesuai dengan historinya, raja adalah pimpinan tertinggi administrasi pemerintahan, yang melaksanakan kebijakan dengan dukungan pengabdian dan struktur hierarki Abdi Dalem,” jelasnya.
Secara operasional, Abdi Dalem adalah sejumlah orang pilihan yang meraih posisi sosial terpandang karena ngabekti kepada raja dan keraton atas dasar kepercayaan, bahwa raja adalah kalifatullah. Abdi Dalem berperan sebagai pembantu raja dan keraton dalam kehidupan sehari-hari, dan dalam membagikan berkah kesejahteraan lahir batin kepada rakyat.
Prof. Andre menjelaskan, hubungan antara Raja dengan Abdi Dalem bisa selaras dan bertahan karena dikembangkan sejak berdirinya kerajaan itu sendiri. Kerajaan telah mengembangkan satu iklim kehidupan yang didasari dengan nilai-nilai yang dihayati oleh Abdi Dalem. Loyalitas Abdi Dalem kepada Raja dan Keraton dinyatakan dalam nilai-nilai dasar pengabdian, diantaranya adalah Mituhu (loyalitas), Perwira (Ksatria), Mulia (Bijak), Budi Luhur, Temen (Lurus hati, konsisten antara ucapan dan tindakan), Adil, Andap Ansor (Tidak angkuh dan tidak arogan), dan Rukun (Bertekad bulat, ‘Saiyek saeka kapti’), serta Bertanggung Jawab.
Prof. Andre mengungkapkan mengapa para Abdi Dalem begitu setia kepada Raja dan Keraton.
Hal tersebut, dikarenakan para Abdi Dalem memiliki alasan sosial dan tujuan mengabdi. Alasan pertama adalah kualitas karya pengabdian adalah sumber berkah kehidupan. Kedua, Abdi Dalem sebagai kebanggaan, merupakan kelompok sosial terpilih yang berpeluang nyadong berkah dan mampu menjunjung tinggi wibawa keraton. Abdi Dalem bisa menjadi contoh pada pengabdian (Suri tauladan bagi rakyat banyak) serta mampu memelihara hubungan baik dengan pemerintah dan khalayak umum.
Secara singkat Prof. Andre menjelaskan, peran Abdi Dalem merupakan identitas sosio culture, yaitu sosial dan kebudayaan sebagai strategi yang bisa dikembangkan yang tidak bisa diganggu gugat dan mempersatukan. Didalam identitasnya adalah tentang sosial budaya yang bersifat keagamaan sehingga peran pengabdian sebagai manifestasi nilai-nilai luhur, sebagai sumber berkah. Abdi Dalem memiliki peran yang penting dalam melestarikan dan mengembangkan budaya.
Narasumber berikutnya Bambang Muhammad Fasya A, S.Hum. Ia mengulas tentang Aparatur Penerjemah di Keraton Yogyakarta. Ada tiga peran aparatur penerjemah, yaitu keagamaan, administrasi dan kenegaraan serta pengadilan. Dalam bidang keagamaan, aparatur penerjemah berperan memberi informasi tentang kegiatan keagamaan di Keraton Yogyakarta, seperti upacara Grebeg.
Dalam hal administrasi dan kenegaraan aparatur penerjemah memiliki peran dalam upacara penobatan, dan korespondensi surat menyurat antara Keraton dan Pemerintah Hindia-Belanda. Sedangkan dalam hal pengadilan, aparatur penerjemah berperan sebagai pendamping terdakwa dalam pengadilan sebagai penerjemah tersumpah, dan menulis surat panggilan untuk menghadiri persidangan.
Politik Etis membuka kesempatan bagi elite pribumi untuk bekerja dalam sistem pemerintahan kolonial, termasuk sebagai penerjemah.
Aparatur penerjemah merupakan pegawai sipil yang diangkat oleh Pemerintah Hindia-Belanda, yang memiliki tugas sebagai penghubung antara Keraton Yogyakarta dengan Pemerintah Hindia-Belanda. Mereka merupakan kalangan yang berasal dari kalangan priyayi, sehingga memiliki status sosial yang tinggi di masyarakat, memiliki kehidupan sosial mirip dengan kalangan Eropa.

Sementara narasumber yang ke-2, Nina Megawati, S.S., CSRS, memaparkan hasil penelitiannya terkait peran yang terus berkembang dari Abdi Dalem, penjaga tradisional Keraton Yogyakarta, dalam melestarikan warisan budaya ditengah modernitas dan globalisasi. Penelitiannya menyoroti komitmen para Abdi Dalem dalam mengintegrasikan alat, dan platform digital untuk terhubung dengan generasi muda, bersama dengan inisiatif Keraton seperti, pameran dan kegiatan budaya, yang menjadi contoh nyata pertemuan tradisi dan inovasi.
Hasil penelitiannya menunjukkan, bahwa Abdi Dalem telah beralih dari sekedar melestarikan artefak budaya menjadi merekontekstualisasi artefak tersebut agar relevan dengan zaman. Perubahan tersebut, dilakukan melalui penekanan pada globalisasi institusi budaya dan keterlibatan yang berkelanjutan dengan audiens modern. Penggunaan platform digital dan pemberdayaan komunitas secara proaktif oleh Abdi Dalem, memastikan warisan budaya Jawa tetap hidup dan mudah diakses di era digital.
Dengan memadukan tradisi dan modernitas, Abdi Dalem menunjukkan model yang menarik untuk pelestarian budaya, memastikan penyampaian pengetahuan dan warisan budaya yang dinamis di abad ke-21.
Upaya mereka, menegaskan interaksi dinamis antara warisan budaya dan inovasi kontemporer.
Adapun narasumber ke-4 pada sesi pertama, dari Kanca Renstra Keraton Yogyakarta, Antonius Maria Indrianto, S.I.Kom, M.A., Ph.D. (Canditature) menyampaikan, bahwa proses perubahan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat mencerminkan dinamika institusionalisasi, menunjukkan adaptasi institusi tradisional terhadap logika modern.
Keraton Yogyakarta telah berhasil mengintegrasikan nilai tradisional dan modernitas, menciptakan model kelembagaan yang adaptif dan berkelanjutan.
Sehingga perubahan tersebut memperkuat identitas budaya Yogyakarta dan menjadikan relevan di era kontemporer. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat menjalankan rencana dan program kerja yang menjaga keseimbangan tradisi dan modernitas. Kolaborasi Kraton dengan berbagai pihak sebagai model pelestarian budaya yang adaptif dan inklusif. ( Adv )