Viral !!! Bom Waktu Tukang Parkir Liar Pinggir Jalan Dan Minimarket : Pelanggaran UU No. 22 Tahun 2009 Dan Pasal 368 KUHP

Jakarta ( cokronews.com ) —
Parkir liar di pinggir jalan atau area kosong sering menjadi sumber keluhan masyarakat Indonesia. Biaya parkir sebesar Rp2.000 hingga Rp10.000 yang diminta oleh oknum tak resmi bukan hanya memberatkan masyarakat, tetapi juga merugikan pendapatan daerah. Pungutan liar (pungli) ini mencerminkan lemahnya tata kelola parkir, memicu ketidakadilan, dan menjadi masalah yang tak kunjung selesai. Artikel ini mengupas akar permasalahan, regulasi hukum, dampak sosial-ekonomi, serta langkah konkret yang harus diambil pemerintah daerah (Pemda) untuk mengatasinya.

Sejarah dan Latar Belakang Pungli Parkir Liar di Indonesia
Fenomena tukang parkir liar muncul seiring dengan urbanisasi yang pesat di Indonesia. Penyebab utamanya meliputi:
1. Tingginya tingkat pengangguran. Berdasarkan data BPS, tingkat pengangguran terbuka pada tahun 2024 mencapai 5,45%. Minimnya lapangan pekerjaan membuat banyak orang memilih pekerjaan informal, termasuk menjadi tukang parkir liar.
2. Kurangnya regulasi yang ditegakkan. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah mengatur bahwa parkir harus memiliki izin resmi dari Pemda. Namun, lemahnya pengawasan membuat praktik ilegal terus berkembang.
3. Ketergantungan masyarakat pada kendaraan pribadi. Data Kementerian Perhubungan menunjukkan bahwa 82% masyarakat Indonesia menggunakan kendaraan pribadi, sehingga permintaan parkir sangat tinggi.

Parkir Legal vs. Parkir Ilegal: Perbedaan dan Ciri-Ciri

Parkir legal dan ilegal dapat dibedakan berdasarkan aspek hukum, administrasi, dan praktik di lapangan:
1. Parkir Legal:
• Izin Resmi: Lokasi memiliki izin dari Pemda, sesuai dengan Perda atau Peraturan Kepala Daerah.
• Karcis dan Bukti Pembayaran: Pengguna parkir mendapatkan karcis yang mencantumkan nama pengelola parkir, tarif, dan stempel resmi.
• Retribusi Resmi: Biaya parkir disetorkan ke kas daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD).
2. Parkir Ilegal:
• Tanpa Izin: Tidak ada pengelolaan resmi dari pemerintah.
• Biaya Tidak Transparan: Tarif sering kali ditentukan sepihak tanpa karcis resmi.
• Lokasi Tidak Tertata: Biasanya di trotoar, bahu jalan, atau area kosong tanpa fasilitas parkir memadai.

Dampak Pungli Parkir Liar
1. Kerugian Ekonomi:
Berdasarkan data KPK, potensi kebocoran retribusi parkir di kota-kota besar Indonesia mencapai Rp3 triliun per tahun.
2. Kemacetan Lalu Lintas:
Parkir liar di pinggir jalan mengurangi ruang jalan dan memperburuk kemacetan.
3. Ketidaknyamanan Publik:
Pungli menciptakan rasa frustrasi di kalangan masyarakat, yang merasa diperas tanpa layanan yang jelas.

Analisis Hukum: Dasar dan Langkah Masyarakat
Pungli parkir liar melanggar beberapa aturan hukum, antara lain:
1. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
• Pasal 110: Setiap lokasi parkir wajib memiliki izin resmi dan menyetorkan retribusi ke Pemda.
2. KUHP Pasal 368 (Pemerasan):
• Unsur: “Dengan maksud menguntungkan diri sendiri, dengan cara memaksa seseorang menyerahkan sesuatu.”
3. Perda Kota/Kabupaten:
• Setiap daerah memiliki regulasi parkir yang harus dipatuhi. Misalnya, Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 2012 mengatur pengelolaan parkir resmi.

Langkah Masyarakat:
• Laporkan Pungli: Masyarakat dapat melaporkan pungli ke Saber Pungli melalui kanal resmi.
• Hindari Parkir Ilegal: Pilih lokasi parkir yang memiliki izin resmi meskipun biayanya sedikit lebih mahal.

Komparasi dengan Penanganan di Negara Lain
1. Singapura:
Pemerintah Singapura memberlakukan sistem parkir elektronik (Electronic Parking System/EPS) yang terintegrasi dengan pembayaran non-tunai.
2. Jepang:
Jepang memiliki regulasi ketat di mana kepemilikan kendaraan harus disertai bukti memiliki tempat parkir pribadi.
3. Jerman:
Parkir di area publik diatur melalui sistem parkir berbayar dengan terminal elektronik dan denda tegas untuk pelanggaran.

Solusi Aplikatif untuk Pemda
Pemda harus mengambil langkah-langkah konkret berikut:
1. Revisi Regulasi:
• Menyesuaikan tarif parkir resmi agar kompetitif dengan parkir liar.
• Memperketat pengawasan dengan sanksi tegas bagi pengelola parkir liar.
2. Penerapan Teknologi:
• Mengintegrasikan sistem pembayaran parkir dengan aplikasi digital untuk mengurangi pungli.
3. Penegakan Hukum:
• Mengintensifkan razia parkir liar oleh Satpol PP dan Dinas Perhubungan.
4. Pengelolaan Profesional:
• Menggandeng swasta untuk mengelola parkir resmi dengan sistem lelang terbuka.

Kasus Viral Pungli Parkir Liar
1. Kasus di Jakarta Selatan (2023): Pengendara motor dipaksa membayar Rp20.000 oleh preman di area kosong.
2. Kasus di Bandung (2024): Video viral memperlihatkan tukang parkir mengancam pemilik mobil yang menolak membayar.
3. Kasus di Surabaya (2022): Satpol PP menangkap pengelola parkir liar yang menghasilkan Rp1 juta/hari tanpa izin resmi.

Institusi yang Harus Bertindak untuk Memberantas Pungli Parkir Liar

Mengatasi masalah pungli parkir liar tidak bisa dilakukan secara parsial. Dibutuhkan sinergi lintas institusi dengan peran yang jelas dan langkah aplikatif yang konkret. Berikut ini adalah institusi-institusi yang harus terlibat beserta peran strategisnya:

  1. Pemerintah Daerah (Pemda)

Sebagai pengelola wilayah, Pemda memiliki tanggung jawab utama dalam menata dan mengelola sistem parkir di daerahnya. Beberapa langkah yang dapat diambil:
• Inventarisasi Lokasi Parkir: Pemda harus memetakan seluruh lokasi parkir resmi maupun potensial di wilayahnya. Data ini menjadi dasar untuk menentukan tarif resmi, izin, dan potensi pendapatan daerah.
• Pengawasan Ketat: Melalui Dinas Perhubungan dan Satpol PP, Pemda harus secara rutin melakukan razia parkir liar di titik-titik rawan. Petugas harus diberdayakan untuk mencabut izin parkir yang tidak sesuai dengan ketentuan.
• Membangun Infrastruktur Parkir: Pemda perlu membangun fasilitas parkir modern seperti gedung parkir bertingkat atau parkir bawah tanah yang lebih aman dan nyaman bagi masyarakat.

Contoh Aksi Aplikatif:
Kota Surabaya telah meluncurkan aplikasi parkir resmi yang memudahkan masyarakat menemukan lokasi parkir legal sekaligus membayar secara digital. Model seperti ini harus direplikasi oleh Pemda lainnya.

  1. Dinas Perhubungan (Dishub)

Dishub berperan sebagai pelaksana teknis pengelolaan transportasi, termasuk sistem parkir. Beberapa langkah konkrit yang dapat dilakukan:
• Digitalisasi Sistem Parkir: Mengimplementasikan teknologi seperti Electronic Parking System (EPS) atau aplikasi berbasis digital untuk meminimalkan transaksi tunai yang rentan terhadap pungli.
• Pelatihan Pengelola Parkir: Memberikan pelatihan kepada petugas parkir resmi untuk meningkatkan profesionalisme dan pelayanan terhadap masyarakat.
• Penegakan Sanksi: Dishub harus berkolaborasi dengan kepolisian untuk memastikan pelanggaran parkir liar diberikan sanksi tegas sesuai regulasi.

Contoh Aksi Aplikatif:
Dishub DKI Jakarta telah memperkenalkan sistem parkir meter di beberapa kawasan untuk meningkatkan transparansi retribusi.

  1. Kepolisian Republik Indonesia (Polri)

Kepolisian memiliki kewenangan untuk menangani aspek pidana dari praktik pungli parkir liar. Peran mereka meliputi:
• Operasi Saber Pungli: Tim Saber Pungli yang dibentuk di tingkat pusat dan daerah harus lebih aktif dalam menindak pelaku pungli parkir liar. Operasi tangkap tangan harus sering dilakukan untuk memberikan efek jera.
• Penerapan Hukum Pidana: Polri harus mengawal kasus pungli hingga proses peradilan untuk memberikan keadilan bagi masyarakat.

Contoh Aksi Aplikatif:
Polrestabes Bandung berhasil mengamankan 15 pelaku pungli parkir liar di lokasi wisata selama libur Lebaran 2023. Langkah ini harus ditiru oleh wilayah lain.

  1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

Meskipun fokus utama KPK adalah pemberantasan korupsi di tingkat tinggi, KPK juga memiliki peran dalam mendukung pengelolaan yang transparan dan akuntabel di sektor parkir. Peran KPK meliputi:
• Monitoring Pendapatan Daerah: KPK dapat membantu Pemda memastikan retribusi parkir masuk ke kas daerah melalui sistem pengawasan berbasis teknologi.
• Edukasi Antikorupsi: Mengedukasi pejabat Pemda dan masyarakat tentang pentingnya menghindari pungli dalam sektor pelayanan publik.

Contoh Aksi Aplikatif:
KPK telah bekerja sama dengan beberapa Pemda untuk menerapkan sistem e-retribusi yang meminimalkan interaksi langsung antara petugas dan masyarakat.

  1. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)

BPK dan BPKP dapat melakukan audit khusus terhadap pengelolaan retribusi parkir di daerah. Langkah ini penting untuk mengidentifikasi potensi kebocoran pendapatan yang disebabkan oleh pungli.
• Audit Berkala: Melakukan audit secara berkala terhadap kinerja pengelolaan parkir oleh Pemda.
• Rekomendasi Pembenahan: Memberikan rekomendasi teknis kepada Pemda terkait sistem pengelolaan parkir yang lebih efisien dan akuntabel.

  1. Lembaga Ombudsman RI

Sebagai pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI memiliki peran penting dalam memastikan keluhan masyarakat terkait pungli parkir liar ditangani dengan cepat dan tepat.
• Pengaduan Masyarakat: Ombudsman harus membuka kanal pengaduan khusus untuk masalah pungli parkir liar dan menindaklanjutinya dengan rekomendasi kepada Pemda atau lembaga terkait.
• Publikasi Temuan: Ombudsman dapat mempublikasikan hasil temuan mereka untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas.

Contoh Aksi Aplikatif:
Ombudsman RI pernah mengungkap adanya praktik pungli parkir liar di lokasi wisata Yogyakarta yang merugikan wisatawan.

Kesimpulan
Sinergi antara Pemda, Dishub, Polri, KPK, BPK/BPKP, dan Ombudsman RI menjadi kunci dalam memberantas pungli parkir liar. Setiap institusi memiliki peran yang saling melengkapi dan harus dieksekusi dengan langkah konkret. Pendekatan berbasis teknologi, pengawasan ketat, dan penegakan hukum adalah langkah aplikatif yang dapat memberikan solusi jangka panjang untuk masalah ini. Dengan kerja sama yang kuat, pungli parkir liar bukan lagi masalah tak terpecahkan, tetapi peluang untuk menciptakan tata kelola transportasi yang lebih baik di Indonesia.

Mengapa Semua Institusi yang Disebut Tidak Berjalan Efektif?

Meski institusi-institusi seperti Pemda, Dishub, Polri, KPK, BPK/BPKP, dan Ombudsman RI telah diberi kewenangan untuk menangani masalah pungli parkir liar, kenyataannya permasalahan ini terus berulang. Berikut adalah beberapa alasan mengapa peran institusi tersebut belum berjalan efektif:

  1. Lemahnya Pengawasan dan Penegakan Hukum
    • Pemda: Banyak pemerintah daerah tidak memiliki mekanisme pengawasan yang memadai untuk memastikan bahwa lokasi parkir resmi dikelola sesuai aturan. Dishub atau Satpol PP sering kekurangan personel dan sumber daya untuk melakukan razia rutin.
    • Polri: Operasi penindakan sering kali hanya bersifat seremonial dan tidak berkelanjutan. Beberapa oknum aparat justru terlibat dalam praktik pungli, baik secara langsung maupun tidak langsung.
  2. Rendahnya Akuntabilitas dan Transparansi
    • KPK dan BPK: Walaupun memiliki mandat untuk memonitor potensi kebocoran pendapatan daerah, pengawasan terhadap sektor kecil seperti retribusi parkir sering kali tidak menjadi prioritas utama.
    • Dishub: Sistem pengelolaan parkir di banyak daerah masih berbasis tunai, yang rawan terhadap penyalahgunaan dan kebocoran.
  3. Korupsi dan Kolusi Sistemik
    • Banyak pelaku pungli parkir liar yang “berlindung” di bawah perlindungan oknum aparat atau pejabat daerah. Hal ini menciptakan jaringan korupsi yang sulit diberantas tanpa komitmen serius dari semua pihak.
  4. Rendahnya Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat

Masyarakat cenderung menerima praktik pungli sebagai sesuatu yang “wajar” dan jarang melaporkan karena merasa tidak ada dampak langsung atau khawatir akan intimidasi dari pelaku pungli.

Sanksi Bagi Aparat Penegak Hukum (APH) yang Lalai atau Terlibat

Aparat penegak hukum yang lalai atau terlibat dalam praktik pungli dapat dikenai sanksi administratif maupun pidana:
1. Sanksi Administratif:
• Pemecatan atau penurunan pangkat bagi aparat yang terbukti melindungi pelaku pungli.
• Penahanan tunjangan kinerja atau insentif tertentu.
• Mutasi ke wilayah yang lebih terpencil.
2. Sanksi Pidana:
• Berdasarkan Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, aparat yang terlibat dalam pungli dapat dihukum maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
• Jika terbukti melakukan pemerasan, mereka juga dapat dijerat dengan Pasal 368 KUHP.

Bagaimana Masyarakat Bisa Mengawal?
1. Menggunakan Media Sosial untuk Viralisasi Kasus
• Salah satu cara paling efektif untuk mendorong tindakan adalah dengan memanfaatkan media sosial. Video atau laporan tentang pungli yang viral sering kali memaksa pihak berwenang bertindak cepat karena tekanan publik.
• Namun, masyarakat harus tetap memastikan bahwa informasi yang disebarkan akurat dan tidak mengandung fitnah.
2. Melaporkan Melalui Kanal Resmi
• Gunakan platform seperti Saber Pungli, lapor.go.id, atau aplikasi pengaduan daerah untuk melaporkan pungli.
• Dokumentasikan bukti seperti foto, video, atau kwitansi pungli untuk memperkuat laporan.
3. Bergabung dengan Komunitas Pengawasan Publik
• Organisasi masyarakat sipil (OMS) atau komunitas warga dapat menjadi pengawas independen terhadap kebijakan publik, termasuk pengelolaan parkir.
4. Menggunakan Hak atas Informasi Publik
• Berdasarkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, masyarakat dapat meminta data retribusi parkir resmi dari Pemda untuk memeriksa potensi kebocoran pendapatan.

Apakah Harus Viral untuk Ditindak?

Sayangnya, di Indonesia, banyak kasus baru mendapatkan perhatian ketika sudah viral. Hal ini disebabkan oleh:
• Budaya Respons Krisis: Banyak institusi hanya bertindak setelah ada tekanan publik, bukan karena menjalankan tugas rutin.
• Ketidakpercayaan terhadap Laporan Formal: Masyarakat cenderung merasa bahwa laporan ke kanal resmi sering diabaikan jika tidak mendapatkan sorotan luas.

Namun, pendekatan ini memiliki risiko, seperti:
• Informasi yang disalahartikan atau dipolitisasi.
• Potensi konflik atau ancaman terhadap pelapor.

Oleh karena itu, idealnya sistem pengaduan resmi harus diperbaiki agar masyarakat tidak perlu mengandalkan viralitas untuk mendapatkan keadilan.

Apakah Tukang Parkir Liar Dipelihara?
1. Hubungan dengan Oknum Pihak Tertentu:
• Dugaan perlindungan oleh oknum: Tukang parkir liar di beberapa lokasi sering disebut “setoran” kepada oknum aparat, pengelola lahan, atau organisasi tertentu. Dalam hal ini, mereka diizinkan beroperasi selama memenuhi kewajiban setoran harian atau mingguan.
• Keterlibatan organisasi informal: Beberapa kelompok atau individu di masyarakat mengorganisasi tukang parkir liar untuk mendapatkan keuntungan tanpa izin resmi.
2. Kurangnya Penegakan Hukum yang Konsisten:
• Pemerintah daerah sering tidak memiliki sumber daya atau niat untuk mengawasi secara ketat aktivitas parkir liar.
• Penertiban yang dilakukan seringkali bersifat sementara dan tidak berkelanjutan. Setelah ditertibkan, aktivitas parkir liar biasanya kembali terjadi.
3. Keberadaan Zona Abu-Abu:
• Tukang parkir liar sering beroperasi di tempat yang sebenarnya membutuhkan pengelolaan parkir, tetapi tidak ada regulasi atau izin yang jelas, seperti di depan minimarket, pasar, atau jalan umum.
4. Persoalan Ekonomi:
• Banyak tukang parkir liar yang beroperasi karena kebutuhan ekonomi. Mereka memanfaatkan celah kurangnya pengawasan untuk mencari nafkah di area yang tidak resmi.

Bagaimana Hal Ini Diterapkan di Lapangan?
1. Setoran Kepada Oknum:
• Tukang parkir liar sering diharuskan memberikan sejumlah uang sebagai “izin tak resmi” untuk beroperasi di lokasi tertentu. Hal ini membuat mereka merasa aman dari razia atau penertiban.
2. Ketiadaan Regulasi yang Tegas:
• Tidak adanya aturan lokal yang tegas mengenai pengelolaan parkir di beberapa wilayah membuka peluang bagi aktivitas liar. Misalnya, minimarket yang tidak bekerja sama dengan pengelola parkir resmi cenderung menjadi sasaran.
3. Kurangnya Edukasi dan Alternatif Penghidupan:
• Banyak tukang parkir liar yang tidak memiliki pilihan pekerjaan lain. Tanpa edukasi atau pelatihan untuk mencari penghasilan yang lebih formal, mereka terus bergantung pada pekerjaan ini.
4. Zona Toleransi:
• Di beberapa wilayah, aktivitas parkir liar dibiarkan selama tidak ada keluhan serius dari masyarakat atau tidak mengganggu ketertiban umum.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Pungli parkir liar adalah masalah kompleks yang memerlukan reformasi menyeluruh pada sistem pengelolaan parkir, pengawasan, dan penegakan hukum. Untuk menciptakan perubahan nyata:
1. Pemda harus membangun sistem parkir berbasis teknologi yang transparan dan akuntabel.
2. Penegakan hukum harus menyasar bukan hanya pelaku lapangan tetapi juga7 jaringan pelindung mereka.
3. Masyarakat perlu diberdayakan melalui akses ke informasi dan kanal pelaporan yang efektif.

Viralitas kasus memang dapat menjadi pemicu, tetapi solusi jangka panjang membutuhkan institusi yang profesional, transparan, dan konsisten dalam melayani masyarakat. ( Red : Emmanuel Adi )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *