Ponorogo ( cokronews.com ) —- Sebagian anak tumbuh dan berkembang dengan kegagalan pengasuhan seorang ayah. Fenomena fatherless itu cukup banyak terjadi di Indonesia. “Fatherless lebih merujuk pada kondisi ketika ayah tidak hadir dalam perkembangan anak meskipun secara biologis masih ada,” kata Andri Nurdiyana Sari, dokter spesialis kedokteran jiwa bersamaan peringatan Hari Ayah yang jatuh 12 November 2024.
Menurut dia, kondisi fatherless berbeda dengan kehilangan ayah karena meninggal dunia sehingga anak disebut yatim. Tanpa peran pengasuhan ayah secara fisik dan psikologis itu berdampak siginifikan terhadap tumbuh kembang anak. “Cenderung tumbuh menjadi pribadi yang sulit bersosialisasi dan mudah mengalami gangguan emosi,” jelas psikiater yang bertugas di RSUD dr Harjono Ponorogo itu.
Padahal, lanjut dokter Andri, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Sedangkan bagi anak laki-laki, ayah merupakan panutan. Anak perempuan yang tidak mendapatkan sosok seorang ayah, bisa saja mencari perhatian terhadap lawan jenis di usia yang masih dini. “Kondisi yang sama bagi anak laki-laki membuat bertingkah laku seperti perempuan,” terang Andri.
Sementara itu, menurut Karina Rizky, psikolog Klinis RSUD dr Harjono, penyebab seorang ayah tidak dapat berperan dalam pengasuhan anaknya karena pola asuh terdahulu yang memang mengabaikan anak. “Selain pola asuh orang tua zaman dulu, penyebab anak mengalami fatherless adalah terjadinya pernikahan atau kehamilan yang tidak diinginkan serta kesibukan orang tua,” ungkap Karina.
Karina mengungkapkan bahwa upaya menghindari fenomena fatherless di Indonesia, salah satunya, melalui pendidikan pra nikah. Selain itu, peranan lingkungan sekitar, termasuk orang tua calon pengantin juga ikut memastikan kesiapan calon mempelai sebelum memiliki anak.
“Kematangan usia saat menikah juga menjadi faktor penolong untuk mencegah fatherless. Apalagi saat ini sudah ada UU Nomor 16 Tahun 2019 yang mengatur batas usia pernikahan minimal 19 tahun, ” pungkasnya. (tim kominfo)